Jumat, 17 Desember 2010
Lanjutan Supersemar
Supersemar itu bukan kudeta merangkak. Kudeta merangkak sendiri dimaksudkan sebagai kudeta perlahan yang dilakukan oleh Soeharto untuk menjatuhkan kepemimpinan Soekarno saat itu. Demikian penegasan tentang Supersemar pada peringatan 44 Tahun Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang digelar oleh Yayasan Kajian Citra Bangsa dan Universitas Mercu Buana. Peringatan Supersemar kali ini berusaha untuk meluruskan sejarah Supersemar yang simpang siur. Sampai saat ini, publik memang kerap menyimpulkan Supersemar sebagai sesuatu yang masih misterius keberadaannya dan banyak rekayasa di dalamnya.
Sejarah tentang Supersemar memang muncul dalam berbagai versi. Masing-masing berusaha memihak beberapa tokoh yang terlibat dalam pengesahan Supersemar. Banyak buku yang berusaha memutarbalikkan sejarah. Bahkan di buku pelajaran sejarah kurikulum 1994, ada beberapa peristiwa sejarah seperti peristiwa Madiun 1948 yang dihapuskan. Seharusnya tidak seperti itu, karena generasi muda perlu tahu apa yang terjadi sebenarnya. sumber
Jujur saja saya sendiri sebagai generasi muda baru ingat kembali tentang Supersemar setelah melihat berita di atas hehehe. Supersemar berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu. Namun ada beberapa kontroversi tentang Supersemar ini antara lain :
1. Naskah asli Supersemar dinyatakan hilang dan tidak jelas hilangnya surat ini oleh siapa dan dimana karena pelaku sejarah peristiwa "lahirnya Supersemar" ini sudah meninggal dunia. Belakangan, keluarga M. Jusuf mengatakan bahwa naskah Supersemar itu ada pada dokumen pribadi M. Jusuf yang disimpan dalam sebuah bank.
2. Menurut kesaksian salah satu pengawal kepresidenan di Istana Bogor, Letnan Satu (lettu) Sukardjo Wilardjito, menyatakan bahwa perwira tinggi yang hadir ke Istana Bogor pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 pukul 01.00 dinihari waktu setempat bukan tiga perwira melainkan empat orang perwira. Dan salah satu perwira menodongkan pistol kearah Presiden Soekarno dan memaksa agar Presiden Soekarno menandatangani surat itu yang menurutnya itulah Surat Perintah Sebelas Maret yang tidak jelas apa isinya. Namun beberapa kalangan meragukan kesaksian Soekardjo Wilardjito itu, bahkan salah satu pelaku sejarah supersemar itu, Jendral (Purn) M. Jusuf, serta Jendral (purn) M Panggabean membantah peristiwa itu.
3.Menurut Kesaksian A.M. Hanafi dalam bukunya "A.M Hanafi Menggugat Kudeta Soeharto" Dia membantah kesaksian Letnan Satu Sukardjo Wilardjito yang mengatakan bahwa adanya kehadiran Jendral M. Panggabean ke Istana Bogor bersama tiga jendral lainnya Menurutnya, pada saat itu, Presiden Soekarno menginap di Istana Merdeka, Jakarta untuk keperluan sidang kabinet pada pagi harinya. Dan ketiga jendral itu tidak menodong, sebab mereka datang baik-baik.
4.Tentang pengetik Supersemar. Siapa sebenarnya yang mengetik surat tersebut, masih tidak jelas.
5.Kesaksian yang disampaikan kepada sejarawan asing, Ben Anderson, oleh seorang tentara yang pernah bertugas di Istana Bogor. Tentara tersebut mengemukakan bahwa Supersemar diketik di atas surat yang berkop Markas besar Angkatan Darat, bukan di atas kertas berkop kepresidenan. Inilah yang menurut Ben menjadi alasan mengapa Supersemar hilang atau sengaja dihilangkan. sumber
Berbagai usaha pernah dilakukan Arsip Nasional untuk mendapatkan kejelasan mengenai surat ini. Namun usaha Arsip Nasional itu tidak pernah terwujud. Saksi kunci lainnya, adalah mantan presiden Soeharto. Namun dengan wafatnya mantan Presiden Soeharto pada 27 Januari 2008, membuat sejarah Supersemar semakin sulit untuk diungkap. Yah semua itu akan selalu menjadi misteri bagi kita tampaknya :) Tapi apa yang dikatakan oleh Yayasan Kajian Citra Bangsa dan Universitas Mercu Buana di atas menunjukkan ada semacam penegasan kalau Supersemar adalah bukan suatu rencana kudeta. Sebagai penerus bangsa kita boleh mempercayai atau tidak, yang penting ambil hikmahnya saja bahwa para pemimpin dahulu mempunyai sikap yang tegas dalam mengambil suatu tindakan ketika menghadapi situasi negara yang genting. Dan di dalam situasi yang genting apapun bisa terjadi.
Diposting oleh Nicholai Alexander Ekalaya di 23.29 0 komentar
Soeharto seorang Penjahat Pengubah Sejarah
SETELAH di-persona non grata oleh rezim militer Soeharto, Sukrisno seperti banyak orang yang senasib dengan dirinya terpaksa hidup berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain.
Dari Hanoi, Vietnam, Sukrisno yang telah kehilangan jabatannya sebagai Duta Besar Indonesia memilih mengungsi ke Peking, China, pada tahun 1966. Namun jauh di lubuk hati, Sukrisno masih menyimpan harap. Dia memperkirakan, tak akan lama-lama, setidaknya dalam waktu tiga tahun, semua kekisruhan di tanah air dapat selesai dan keadaan akan kembali normal.
Belakangan terbukti bahwa harapan itu sia-sia belaka. Ibarat kata pepatah Sukrisno bagai menggantang asap dan mengukir langit. Kudeta merangkak, begitu istilah yang digunakan banyak orang, yang dilakukan Soeharto perlahan tapi pasti berhasil menyingkirkan Sukarno dari pusat kekuasaan dan menempatkan dirinya sebagai penguasa tunggal yang tak terbantahkan bahkan tak tertandingi.
***
Pagi hari 4 Oktober 1965, jenazah keenam jenderal dan seorang perwira muda TNI Angkatan Darat yang diculik dan akhirnya dibunuh kelompok TNI Angkatan Darat dibawah pimpinan Letkol Untung ditemukan di sebuah sumur tua di Desa Lubang Buaya di Pondok Gede, Jakarta Timur.
Tujuh perwira yang menemui ajal di tangan kelompok Letkol Untung itu adalah Menteri Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani, Deputi II Menpangad Mayjen R. Soeprapto, Deputi III Menpangad Mayjen M.T. Harjono, Deputi IV Menpangad Brigjen D.I. Panjaitan, Oditur Jenderal/Inspektur Kehakiman AD Brigjen Soetojo Siswomihardjo, Asisten I Menpangad Mayjen S. Parman, dan Lettu P. Tendean (Ajudan Menko Hankam/KSAB Jenderal A.H. Nasution).
Pembunuhan ini telah membuat kacau pucuk pimpinan AD. Dari tiga deputi Menpangad, hanya satu yang tersisa, yakni Deputi I Menpangad Mayjen Moersjid. Sementara dari tujuh Asisten Menpangad tersisa lima orang, yakni Asisten II Mayjen Djamin Ginting, Asisten III Mayjen Pranoto Reksosamodra, Asisten V Mayjen Soeprapto Soekowati, Asisten VI Brigjen Soedjono, Asisten VII Brigjen Alamsjah Prawiranegara.
Adapun Mayjen Soeharto sejak pagi hari 1 Oktober 1965 menjadi satu-satunya perwira tinggi AD yang muncul ke permukaan dan mengambil alih pimpinan. Soeharto menggunakan apa yang disebut sebagai konsensus di kalangan pucuk pimpinan AD ketika itu. Menurut konsensus itu, bila Menpangad berhalangan maka Pangkostrad yang akan menggantikannya untuk sementara. Sejauh ini, belum diketahui pasti apakah di masa itu konsensus tersebut memang ada.
Yang jelas, sampai pembunuhan ketujuh perwira AD dinihari 1 Oktober itu, Menpangad Letjen Ahmad Yani tidak memiliki wakil. Wakil Menpangad terakhir adalah Gatot Subroto. Tetapi setelah ia meninggal dunia pada 1962, kursi Wakil Menpangad dibiarkan kosong. Ada juga informasi yang menyebutkan bahwa Gatot Subroto digantikan oleh Kolonel Bambang Sumpeno. Tetapi banyak yang meragukan ini, mengingat dari segi kepangkatan Kolonel Bambang Sumpeno berada dua tingkat di bawah para Asisten Menpangad.
Sementara menurut logika organisasi, bila Menpangad berhalang maka yang menggantikannya adalah Deputi Menpangad. Dengan demikian, seharusnya yang menggantikan Menpangad Letjen Ahmad Yani untuk sementara adalah Deputi I Menpangad Mayjen Moersjid. Tetapi kelihatannya Mayjen Moersjid yang merupakan Deputi bidang Operasi segan menghadapi Soeharto karena ia pernah menjadi anak buah Soeharto di Komando Mandala. Ada juga dugaan lain yang mengatakan Moersjid memang semata-mata kehilangan inisiatif begitu mendengar penculikan yang dialami teman-temannya.
Maka begitulah. Soeharto menggunakan dalih konsensus itu dan mengambil alih pimpinan Angkatan Darat sejak pagi hari 1 Oktober 1965. Ia, misalnya, dengan percaya diri menggunakan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang dipimpin Kolonel Sarwo Edhie sebagai ujung tombak untuk memukul balik kelompok Letkol Untung.
Begitu ngotot Soeharto menggunakan konsensus itu sampai-sampai ia sempat bersitegang dengan Presiden Sukarno. Soeharto keberatan dan memperlihatkan sikap tidak senang ketika dalam pertemuan tanggal 2 Oktober Presiden Sukarno menunjuk Mayjen Pranoto Reksosamodra sebagai pengganti sementara Menpangad.
Soeharto mengancam tidak akan ikut bertanggung jawab dalam menghentikan kekisruhan. Presiden Sukarno akhirnya mengambil jalan tengah. Dalam pengumuman yang disampaikannya melalui RRI tanggal 3 Oktober 1965, Presiden Sukarno mengumumkan pengangkatan Mayjen Pranoto Reksosamodra sebagai pengganti sementara Menpangad Letjen Ahmad Yani, namun memberikan kekuasaan kepada Pangkostrad Mayjen Soeharto untuk memimpin operasi pemulihan keamanan.
***
“Jelaslah bagi kita yang menyaksikan dengan mata kepala batapa kejamnya aniaya yang telah dilakukan oleh petualang-petualang biadab dari apa yang dinamakan Gerakan 30 September,” ujar Pangkostrad Mayjen Soeharto yang mengambil alih pimpinan Angkatan Darat dan memimpin operasi pencarian mayat ketujuh perwira, beberapa saat setelah ketujuh mayat yang dibenamkan ke dasar sumur tua itu diangkat ke permukaan oleh pasukan katak Korps Komando (KKO).
Itu pula kali pertama Soeharto mengaitkan peristiwa penculikan dan pembunuhan yang dilakukan kelompok Letkol Untung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia menyebut kawasan dimana sumur tua itu berada termasuk di wilayah Lanud Halim Perdanakusuma yang beberapa minggu sebelum peristiwa berdarah itu digunakan Pemuda Rakyat dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), keduanya organisasi sayap Partai Komunis Indonesia (PKI), sebagai tempat latihan militer.
Penemuan mayat ketujuh perwira AD itu diikuti dengan berbagai pemberitaan di media massa yang dikuasai militer mengenai teknik yang digunakan kelompok penculik untuk menghabisi nyawa mereka.
“Matanya dicungkil,” tulis Angkatan Bersendjata menggambarkan kondisi mayat ketujuh korban sehari setelah ketujuh jenazah perwira AD itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, 5 Oktober 1965.
Atau, “Ada yang dipotong tanda kelaminnya,” tulis Berita Yudha edisi 10 Oktober 1965 menimpali.
Pemberitaan yang sedemikian rupa ini, menurut penstudi dari Cornell University Benedict Anderson, menjadi alat yang efektif untuk mengobarkan kebencian terhadap PKI dan para pendukungnya atau siapapun yang dikaitkan memiliki hubungan dengannya. Sementara John Roosa dalam Pretext for Mass Murder (2006) menilai bahwa pembunuhan ketujuh perwira itu menjadi dalih dari pembunuhan massal kader dan simpatisan PKI atau siapapun yang dikaitkan dengannya yang dilakukan di banyak kota di Indonesia dalam kurun 1965-1966.
Pembunuhan massal itu telah menciptakan ketakutan massal di kalangan masyarakat Indonesia dan mampu menciptakan kepatuhan yang luar biasa terhadap rezim. Singkat kata, pembunuhan massal dan efek horor yang dihasilkannya menjadi salah satu pondasi penting stabilitas negara Orde Baru yang dipimpin Soeharto. Bahkan, masih kata John Roosa, semangat anti-komunis seakan menjadi agama resmi negara Orde Baru yang dilengkapi dengan tempat suci, ritual dan hari-hari perayaan.
***
Tidak ada pengadilan bagi siapapun yang dituduh memiliki kaitan dengan PKI dan peristiwa pembunuhan ketujuh perwira pada dinihari 1 Oktober 1965. Hal inilah yang diprotes keras oleh Sukrisno. Dari Hanoi, Vietnam, ia melayangkan surat protes.
“Jika kaum komunis bersalah, mereka harus ditangkap dan dibawa ke pengadilan. Suharto sangat berang terhadap saya, dan dia langsung mem-persona non grata-kan saya,” ujar Sukrisno kepada Sasza Malko dan Carolijn Visser dari NRC Handelsblad. Wawancara itu terbit 15 Desember 1986 silam dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan Redaktur Senior Rakyat Merdeka Online A. Supardi Adiwijaya yang bermukim di Belanda dan sempat bertemu dengan Sukrisno di negeri itu sebelum yang terakhir meninggal dunia tahun 1999.
Di awal kekisruhan di tanah air, Sukrisno beruntung karena masih memiliki sejumlah teman baik di Indonesia, dari kalangan sipil maupun militer. Mereka inilah yang kemudian membantu istri dan anak-anak Sukrisno sehingga mereka bisa berkumpul di China tahun itu juga.
Tetapi di China sebetulnya Sukrisno tidak menemukan apa yang diinginkannya. “Saya tidak boleh bekerja di China, karena saya adalah tamu,” ujar Sukrisno masih kepada NRC Handelsblad. Untuk satu dua bulan, hidup tanpa bekerja bukanlah masalah besar. Tetapi lama kelamaan Sukrisno merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Perlahan ia pun mulai merasa terhina.
“Kami mendapat makanan yang baik, dan di Peking kami disediakan mobil. Jika kami ingin berhubungan dengan teman-teman, tidak perlu menelepon, bisa berangkat memakai mobil ke tempat teman. Mungkin sehubungan dengan kedudukan saya di Indonesia, di China saya mendapat penjagaan seorang petugas keamanan dan seorang penerjemah. Saya merasa berkeberatan mendapatkan hal tersebut. Kemudian mereka berkata: Ini adalah tugas dari atasan kami. Dalam situasi demikian saya merasa tidak bebas. Saya merasa hidup atas belas kasihan orang,” cerita Sukrisno menggambarkan kehidupannya di China.
Setelah Revolusi Kebudayaan China yang berlangsung selama sepuluh tahun berakhir bersamaan dengan kematian Mao Zedong pada tahun 1976, keadaan Sukrisno dan keluarganya semakin berat. Anak-anak mereka kini tidak diizinkan pergi ke sekolah. Tak bisa menerima diksriminasi itu, Sukrisno kembali melayangkan surat protes. Tetapi belakangan ia sadar, protesnya kepada pimpinan militer yang berkuasa tidak akan ada gunanya. Maka untuk memperbaiki keadaan, Sukrisno dan keluarganya memutuskan pindah ke Belanda dan meminta suaka politik dari negeri yang selama ratusan tahun pernah menjajah Indonesia.
Keluarga Sukrisno angkat kaki dari China pada Desember 1980, hanya beberapa bulan sebelum Kelompok Empat, yang terdiri dari Zhang Chuanqio, Yao Wenyuan, Wang Hongwen dan istri Mao, Jiang Qing, diadili karena melakukan kudeta kurang lebih sebulan setelah Mao Zedong menghembuskan nafas penghabisan.
Diposting oleh Nicholai Alexander Ekalaya di 23.26 0 komentar
Langganan:
Postingan (Atom)